Sifat Kalam

Kalam
( Sipat yang ke tiga belas yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala )
◄Fayajibu fi haqqihi ta’alal kalamu, wa huwa shifatun qodimatun qo-imatun bidzatihi ta’ala wa laisat biharfin wa la shoutin, wa dlidduhal bukmu wa huwal khorsu, wad dalilu ‘ala dzalika qouluhu wa kallamallohu musa takliman = Dan wajib dalam haq-nya Alloh ta’ala yaitu sipat kalam (berkata-kata), adapun sipat kalam ialah salah satu sipat yang qodim yang menetap dengan dzatnya Alloh ta'ala, dan (sipat kalam tersebut padanya) tiada hurup dan juga tiada suara, adapun perlawanan sipat kalam ialah bisu, yakni gagu. Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap sipat kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4 An-Nisa': 164)►

Penjelasan. 
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa Alloh dihinggapi oleh sipat kalam (berkata-kata), dalam arti pasti serta dapat dipahami oleh aqal bahwa Alloh tersipati oleh sipat kalam dengan adanya mu'jizat turunnya kalamulloh.

Adapun kalam Allah terdiri dari dua bagian:
  1. Kalan Dal, yaitu kalam yang ada hurupnya, ada suaranya, ada mulanya, dan juga ada akhirnya.
  2. Kalam Madlul, yaitu kalam yang berada didalam dzatnya Allah ta'ala, yang tiada hurupnya, suaranya, tiada mulanya, dan juga tiada akhirnya...., Jadi yang dimaksud oleh wajib dalam haqnya Allah ta'ala adalah kalam Madlul bukan kalam Dal.
Hubungannya Kalam Dal dengan Kalam Madlul.
  • Mula-mula adanya kalam Dal semenjak Allah menciptakan qolam terus memerintah kepada qolam agar supaya menuliskan atas sebagian kalam madlul.
  • Apabila ada pertanyaan "Bagaimana Allah memberi perintah pada qolam? atau memerintah kepada Jibril ketika diperintahkan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad? atau bagaimana qolam ataukah malaikat Jibril dapat memahami perkataan Allah, sedangkan perkataan Allah tiada hurup dan suara?.. Jawabannya simple saja, yakni dapat diibaratkan seperti sang qolbu memerintah tangan untuk meraba, atau mengusap, atau memegang, atau menulis, atau bersalaman dst. Nah perintah tersebut tiada hurup atau suara tapi si tangan dengan sendirinya memahami apa yang diperintahkan atau diinginkan oleh sang qolbu (maaf, jangan sampai diartikan bahwa Allah atau perkataan Allah seperti qolbu, ini mah sekedar sebagai contoh bahwa dimakhluk-pun ada yang memahami perkataan yang tiada hurup dan suaranya). Sedangkan hakikat perkataan Allah "laisa kamitslihi syai-un = tiada satupun yang serupa denganNya"
  • Isinya kalam Dal juga kalam Madlul "musawin = sama dalam isinya tapi tiada serupa dalam bentuknya"
  • Adapun kalimah "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" yang berada dalam firman Allah (Qs 96 Al'Alaq) adalah pertama kalam (ayat atau kalimah) yang turun kepada Nabi Muhammad, bukan mulanya kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala. Begitu juga kalam "alyauma akmaltu lakum dinakum... ileh" yang berada dalam firman Allah (Qs Al-Maaidah ayat 3) adalah akhir kalam yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, bukan akhir kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala.
  • Adapun kalam Dal, andai saja bertambah terus-terusan didalam isinya tentu masih bisa dituliskan, sedangkan kalam Madlul sampai kapanpun tidak akan mampun untuk dituliskan, sebagaimana firmanNya "Qul lau kanal bahru midadan likalimati robbi lanafidal bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan = Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" (Qs 18 Al-Kahfi: 109)
  • Kalam Dal dengan Alqur'an isi dan kandungannya sama, sedangkan yang membedakannya hanya susunan atau bentuknya saja. Kalam Dal dimulai dengan kalimat "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" dan diakhiri dengan kalimat "alyauma akmaltu lakum dinakum... ileh". Sedangkan Alqur'an dimulai demgan surat Alfatihah dan diakhiri dengan surat Annas.
  • Hubungannya antara kalam Dal dengan Alqur'an Insya Allah penjelasannya yang akan datang dalam bab riwayat Alqur'an.
  • Bila ada pertanyaan: "Allah tiada hentinya berkata-kata, kiranya apa yang sedang Allah bicarakan?" Jawabannya "Dirimu tidak ditaklif mesti mengetahui apa-apa yang sedang dikatakan oleh Allah", tapi andai saja ingin mengetahui apa-apa yang sedang Allah katakan, yakni kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya, maka pahamilah !!... Semata-mata Allah berkehendak atas Tanjizi Qudrot, yakni pelaksanaan yang kontan oleh sipat QudrotNya, Allah telah berkata-kata pada setiap kejadian oleh isinya makna "KUN FAYAKUN" sehingga bukti dan terjadi perkara tersebut dalam kondisi di-Tanjizi Hadits. Selanjutnya silahkan pahamilah surat ke 18 ayat 109 (Qul lau kanal bahru midadan LIKALIMATI robbi lanafidal bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan = Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)) disana dikatakan "likalimati robbi" kalimat tersebut menunjukan atas kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya. Selanjutnya dalam surat ke 7 ayat ke 54 (Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam) disana dikatakan "bi-amrihi = kepada perintah-Nya"  kalimat tersebut menunjukan atas kalamnya Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya.
Sepintas riwayat Kalam Dal dan Alqur'an (yang ada hubungannya dengan bab ini).
Dengan dirinya sendiri Qolam diperintah oleh Allah untuk menuliskan dipapan Lauhul mahfudh, yakni menuliskan isinya kalam Madlulnya Allah ta'ala secara sekaligus tampa ayat tampa surat sebagaimana firman Allah didalam Alqur'an surat 85 Alburuuj ayat 21 - 22 (Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia - yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh), dalam tafsir Jalalain-nya ((Yang dalam Lauh) berada di atas langit yang ketujuh (terpelihara) dari ulah setan-setan dan dari sesuatu perubahan. Panjang Lohmahfuz itu sama dengan panjangnya langit dan bumi, sedangkan lebarnya ialah sama dengan jarak antara timur dan barat; terbuat dari intan yang putih bersih. Demikianlah menurut pendapat yang telah dikemukakan oleh Ibnu Abbas r.a.). Nah secara sekaligus dari sana lalu diturunkan oleh malaikat Jibril ke Baitul Izzah yang berada di langit keempat bertepatan dengan malam Lailatul Qodar sebagaimana yang telah difirmankan dalam Alqur'an surat yang ke 97 ayat 1 (tafsir Jalalainnya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya) yaitu menurunkan Alquran seluruhnya secara sekali turun dari lohmahfuz hingga ke langit yang paling bawah (pada malam kemuliaan) yaitu malam Lailatulkadar, malam yang penuh dengan kemuliaan dan kebesaran). Lalu dari Baitul Izzah disusun ayatnya, suratnya, saat-saat turunnya, dan juga diturunkannya kepada Nabi secara berangsur dalam kurun waktu 23 tahun serta disesuaikan dengan proses turunnya taqdir - yang biasa disebut dengan Asbabun Nuzul.

Yang mula-mula diturunkannya adalah surat Al'alaq (lima ayat), lalu ayat demi ayat diwahyukan oleh malaikat Jibril disesuaikan dengan kebutuhan serta kejadiannya, yang mana kejadian tersebut berangsur-angsur diciptakan melalui Tanjizi Hadits QudrotNya Allah agar supaya dijadikan suri tauladan, cermin  serta pedoman bagi umat hingga hari qiyamat. Kalam tersebut dari malaikat Jibril diterima oleh Nabi, lalu di-ijazahkan kepada para SahabatNya, setelah itu lalu oleh para Sahabat ditulis bersurat-surat & ber-ayat-ayat hingga akhirnya terbentuklah kitab (suci) Alqur'an.

Isinya Kalam Allah yang dituliskan didalam Alqur'an:
  • 2000 (dua ribu) ayat yang menerangkan Janji dan Ancaman.
  • 1000 (seribu) ayat yang menerangkan Pahala Surga dan Siksa Neraka.
  • 1000 (seribu) ayat yang menerangkan isi Larangan.
  • 1000 (seribu) ayat yang menerangkan Kisah.
  • 1000 (seribu) ayat yang menerangkan Ibarat, Contoh dan Tauhid.
  • 500 (lima ratus) ayat yang menerangkan Halal dan Haram.
  • 100 (seratus) ayat yang menerangkan Nasikh dan Mansukh.
  • 66 (enam puluh enam) ayat yang menerangkan Du'a dan Dzikir. Jadi jumlahnya ada 6666 ayat.
  • Adapun Hurupnya ada 1270000 (sejuta dua ratus tujuh puluh ribu) hurup.
Adapun Nama-nama Alqur'an yang disebutkan didalamnya, yaitu:
  1. Al-Kariimu.
  2. Al-Kitaabu.
  3. Al-Mubiinu.
  4. Al-Qur'aanu.
  5. Al-Kalaamu.
  6. An-Nuuru.
  7. Al-Huday.
  8. Ar-Rohmatu.
  9. Al-Furqoonu.
  10. Ats-Tsanaa-u.
  11. Al-Mau'idhotu.
  12. Adz-Dzikru.
  13. Al-Mubaaroku.
  14. Al'Aliyyu.
  15. Al-Hakiimu.
  16. Al-Hikmatu.
  17. Al-Mushoddiqu.
  18. Al-Muhaiminu.
  19. Hablullooh.
  20. Shiroothol Mustaqiim.
  21. Al-Qoyyimu.
  22. Al-Fashlu.
  23. Al'Adhiimu.
  24. Al-Matsaaniy.
  25. Ahsanul Hadiitsu.
  26. Al-Mutasyaabihu.
  27. At-Tanziilu.
  28. Ar-Ruuhu.
  29. Al-Wahyu.
  30. Al'Arobiy.
  31. Al-Bashoo-iru.
  32. Al'Ilmu.
  33. Al-Bayaanu.
  34. Al-Qoshoshu.
  35. Al-Haadiy.
  36. Al'Ajbu.
  37. At-Tadzkirotu.
  38. Al'Adlu.
  39. Ash-Shidqu.
  40. 'Urwatul Wutsqoy.
  41. Al-imlaa-u.
  42. Al-Munaadiy.
  43. Al-Busyroy.
  44. Al-Majiidu.
  45. Az-Zabuuru.
  46. An-Nabaa-u.
  47. Al-Balaaghu.
  48. Al'Aziizu.
  49. Al-Haqqu.
  50. Ahsanul Qoshoshu.
  51. Ash-Shuhufu.
  52. Al-Mukarommatu.
  53. Al-Marfuu'atu.
  54. Al-Muthohharotu.
Penjelasan.
Adapun sipat Kalam terkadang disebut juga:
◄Shifatun ~ azaliyyatun ~ qo-imatun ~ bidzatihi ta'ala ~ laisat biharfin ~ wa la shoutin►

Sifatun: yaitu SATU sipat yang tidak terliputi oleh bilangan. 

● Azaliyyatun:  yang azali (sebelum ada sebutan zaman atau waktu) yang tiada permulaan.

Qo'imatun: menetap selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh "bisu". 

Bidzatihi ta'ala: yakni melekat keberadaanya, selama-lamanya ada didalam dzatNya.

● Laisat biharfin: tiada baginya SATU hurup-pun.

● Wa la shoutin: dan tiada pula SATU kata / bunyi-pun.

Adapun sipat Kalam mempunyai ta'alluq (persambungan) antara sipat Kalam dengan sesuatu yang ditunjukinya: 

Ta'aluq ifadah (untuk apa), yakni untuk menunjukkan atas ISI yang difirmankan. 

Ta'aluq ta'diyah (sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap Wajibul Wujud ~ Mustahilul Wujud ~ Mumkinul Wujud, semuanya dapat diungkapkan / diceritakan / difirmankan oleh Kalamnya Allah. 

Ta'aluq marotib (tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan persambungannya sipat Kalam.

Adapun tingkatannya antara sipat Kalam dengan perkara yang difirmankan, ada dua tingkatan:

● Terhadap selain AMAR (perintah) atau NAHI (larangan) kedududkannya berada di Tanjizi Qodim, yakni pelaksanaan yang kontan dari zaman dahulu kala bahwa Allah telah berkata-kata.

● Adapun terhadap AMAR atau NAHI, terdiri dari dua bagian:
  1. Sebelum wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat kalam disebut Shuluhi Qodim, yakni telah lulus dari dahulu kala.
  2. Setelah wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat Kalam disebut Tanjizi Hadits, yakni baru persentuhannya / kontaknya.
Penjelasan : Wa dlidduhal bukmu wa huwal khorsu.
Yang dimaksud oleh Bukmun atau Khorsun oleh sebab sama sekali tiada dapat berkata-kata, atau terhalang, seperti:
  • Batu ~ bata ~ tembok ~ tiang ~ tiada berkata-kata ia dinamakan Bukmun.
  • Binatang ~ manusia ~ jin ~ tiada berkata-kata ia dinamakan Khorsun.
Nah yang dimaksud Bukmun disini, yaitu:
  • Sama sekali tidak dapat berkata-kata.
  • Tiada berkata-kata oleh sebab ada halangan.
  • Berkata-kata ada hurup atau suara.
  • Berkata-kata ada mulanya serta ada akhirnya. nah ini semua mustahil bagi Allah.
Penjelasan : Waddalilu
Wad dalilu ‘ala dzalika qouluhu wa kallamallohu musa takliman = Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap sipat kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4 An-Nisa': 164)►

Yang dimaksud "Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung" (Qs 4 An-Nisa': 164):
  • Hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata yang isinya ada suara atau tulisannya, akan tetapi telinga Nabi Musa dibukakan hijabnya sehingga dapat mendengarkan Kalam Madlulnya Allah yang tiada hurup atau suara.
  • Dan juga, hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata kepada Nabi Musa ada permulaannya lalu ada akhirnya, akan tetapi dibukakan hijab telinganya Nabi Musa ada mulanya lalu ditutup kembali oleh Allah sehingga ada akhirnya.
  • Isi daripada Kalam Madlulnya Allah yang dapat didengar oleh telinganya Nabi Musa disaat itu, yakni (Innani anallohu la ilaha illa ana fa'buduni wa aqimish sholata lidikri = Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku) (Qs 20 Thaahaa: 14)
Tambahan:
  • Menurut Syekh Imam Asy'ari, mengenai hitungan aqo'id iman - cukuplah sampai sipat Kalam saja, tidak usah ada sipat ma'nawiyah karena sudah lazim oleh adanya sipat ma'ani.
  • Menurut Syekh Imam Mansur Ma'turidi, katanya wajib disebutkan serta disusun satu persatu ma'nawiyahnya sipat ma'ani yang tujuh sehingga aqo'id iman jumlahannya ada 20 (dua puluh) sipat.
  • Sedangkan Syekh Imam Ibrohim al-Bajuri yang mengarang kitab Tijan sepedapat dengan pendapatnya Syeh Imam Mansur al-Maturidi, yakni aqo'id iman disempurnakan menjadi 20 (dua puluh) sipat yang wajib di Allah.
Wallohu 'a'lam.

Sifat Qudrot

Qudrot
(Yaitu sipat yang ketujuh dalam haqnya Alloh ta'ala)
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat qudrot, adapun sipat qudrot  ialah salah satu sipat yang qodim  yang menetap dalam dzatnya Alloh ta'ala  yang mengadakan (Alloh) oleh sipat qudrot serta meniadakannya. Sedangkan dalil yang memperkuat ata sipat Qudrot "sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) keberadaannya lemah (tak berdaya) maka tidak akan diketemukan satu perkara-pun dari adanya beraneka ragam jenisnya makhluk"►

Penjelasan.
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa Alloh dihinggapi oleh sipat qudrot (bisa & kuasa), dalam arti pasti dan dapat dipahami oleh akal bahwa Alloh tersipati oleh sipat qudrot dengan adanya bebagai tanda kesan dari perbuantannya Alloh, dengan kata lain bisa dan kuasa temen dzat Alloh mengadakan atau menghilangkan terhadap makhluknya.
  • Sipat qudrotnya Alloh termasuk salahsatu sipat ma'ani.
  • Sipat ma'ani yaitu sipat yang bukti wujudnya, andai saja makhluk dibukakan hijab maka bakal tampak kelihatan dengan jelas bagaimana sipat qudrotnya Alloh.
  • Sipat qudrot adalah salahsatu sipat yang menetap dalam dzat yang maha qodim, maka keadaan sipat tentunya sama dengan keadaan dzat, kalau dzatnya qodim tentu sipatnya juga ikut qodim, oleh karena itu sipat qudrotnya Alloh tidak didahului oleh lemah (tak mampuh), dan tidak pernah diselingi oleh lemah, dan tidak akan diujungi dengan lemah.
  • Sipat qudrot termasuk sipat (iftiqor), maksudnya bahwa makluk membutuhkan atas sipat qudrot.
  • Sipat qudrot termasuk sipat (jalal), maksudnya ia adalah salah satu sipat yang memperlihatkan kemaha perkasaanya Alloh.

Penjelasan.
Adapun sipat qudrot di Alloh terkadang disebut juga:
◄Sifatun ~ wujudiyatun ~ qodimatun ~ qo'imatun ~ bidzatihi ta'ala ~ tu'ats-tsirul mumkinat ~ ijadan ~ wa i'daman►
  • Sifatun: yaitu SATU sipat yang tidak terliputi oleh bilangan.
  • Wujudiyatun: yang ada buktinya, sehingga kalau dibukakan hijab maka akan melihatnya. karena yang namanya wujud sah dapat diketemukannya, dengan kata lain bahwa sipat qudrot (ma'ani) bisa diketemukan.
  • Qodimatun: yang tidak ada permulaanya.
  • Qo'imatun: menetap selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh tidak "mampu".
  • Bidzatihi ta'ala: yakni melekat keberadaanya, selama-lamanya ada didalam dzatNya
  • Tu'ats-tsirul mumkinat: yang memberi kesan / bekas terhadap setiap perkara yang mungkin adanya. Tidak nyambung terhadap perkara yang wajib mutlak, seperti wajib wujudnya Alloh. Tidak nyambung terhadap perkara yang mustahil wujud, seperti Alloh tuli, hal itu bukannya Alloh tidak mampuh tapi bukan sambungannya / sasarannya.
  • Ijadan: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "mengadakan" dari asalnya tidak ada menjadi ada.
  • Wa i'daman: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "meniadakan" dari asal ada menjadi tidak ada.
Untuk menghindari kekeliruan pemahaman yang sering terjadi.
Pertama: Bahwa sipat ma'ani (termasuk sipat qudrot) selamanya menetap tak pernah pisah dengan dzat (Alloh). oleh karena itu apabila mendengar kata-kata seperti contoh ini:
  • "dengan QUDROT dan IRODAT-Nya kita dapat berkumpul...dst.
  • Atau seperti ungkapan kata-kata "dengan FADLOL-Nya kita...dst".
  • Atau seperti firman Alloh dalam alqur'an surat ke 65 Ath-Thalaaq ayat 12 disebutkan disitu dengan ILMU-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Hal seperti tadi jangan sampai ada anggapan bahwa peran sipat berpisah dengan dzat, atau sebaliknya.

Kedua: Oleh karena sipat dan dzatnya tidak (pernah) berpisah, jangan sampai ada anggapan bahwa MENGADAKAN atau MENIADAKAN munkinat diliputi oleh ruang dan waktu, karena (dzat & sipat) dalam berperan menciptakan sesuatu tidak diliputi oleh ruang dan waktu, serta tidak akan sama dalam semua penciptaannya dengan pekerjaan yang dilakukan oleh makhluk , karena ia (muklolafatu lilhawaditsi).

Sasaran sipat qurot adalah perkara yang (mumkinul wujud) dan (wajibul wujud muqoyyad).
Perlu diketahui bahwa istilah WAJIBUL WUJUD ada dua bagian:
  • Wajib wujud mutlaq, yakni wajib adanya sesuatu yang tidak boleh tidak (mesti adanya) seperti wajib wujudnya sipat qudrot, irodat, ilmu dst
  • Wajib wujud muqoyyad. yakni adanya sesuatu dikarenakan hal itu sudah difirmankan seperti wajib wujudnya sipat Rosul, wajib wujudnya hari qiyamat, wajib wujudnya surga, neraka dst. Itu semua walaupun wajib wujudnya tapi dalam hakikatnya mumkinul wujud.
Adapun sipat qudrot mempunyai persambungan antara sipat qudrot dengan mumkinat:
  • Ta'aluq ifadah (untuk apa), yakni untuk mengadakan atau meniadakan mumkinat.
  • Ta'aluq ta'diyah (sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap semua jenisnya mumkinat yang akan diadakan atau ditiadakan.
  • Ta'aluq marotib (tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan mumkinat diadakan dan ditiadakannya.
Adapun tingkatannya antara sipat qudrot dengan mumkinat, ada delapan tingkatan:
  1. Shuluhi Qodim.
  2. Qobdloh Awwal.
  3. Tanjizi Hadits Awwal.
  4. Qobdloh Tsani.
  5. Tanjizi Hadits Tsani.
  6. Qobdloh Tsalits.
  7. Tanjizi Hadits Tsalits
  8. Qobdloh Robi'.
1. Shuluhi Qodim.
Lulus dari zaman dahulu kala, bahwa sipat Qodrot terhadap MUMKINAT telah berkaitan untuk meluluskan perkara yang akan ADA-nya, serta meluluskan perkara yang akan TIDAK ADA-nya dalam kondisi semua makhluk belum diciptakan, baik yang akan lulus atau tidaknya. Yakni sipat Qudrot telah mampuh dipakai untuk mengadakan perkara yang bakal ada, atau meniadakan perkara yang akan tiada, firman Alloh dalam alQur'an:
◄Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu►
(Qs 2 Al-Baqarah: 109)

2 Qobdloh Awwal.


◄Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).►
(Qs 13 Ar-Ra'd: 39)

3. Tanjizi Hadits Awwal.


◄Apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.►
(Qs 36 Yaa siin: 82)

4. Qobdloh Tsani.


◄dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."►
(Qs 2 Al-Baqarah: 36)

5. Tanjizi Hadits Tsani.


◄Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati►
(Qs 3 Ali 'Imran: 185)

◄Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.►
(Qs 7 Al-A'raaf: 34)

6. Qobdloh Tsalits.



◄Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,►
(Qs 20 Thaahaa: 55)

7. Tanjizi Hadits Tsalits


◄dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.►
(Qs 22 Al-Hajj: 7)

◄Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati►
(Qs 11 Huud: 7)

8. Qobdloh Robi'.



◄Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya►
(Qs 2 Al-Baqarah: 82)

◄(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.►
(Qs 2 Al-Baqarah: 81)

◄Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gelita. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.►
(Qs 10 Yunus: 27)

Penjelasan : wa didduhu
Perlawanan sipat Qudrot ada tujuh gambaran:
  1. Alloh sama sekali lemah.
  2. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan yang diristis oleh daya dan upayanya makhluk
  3. Allah tidak ikut serta didalam kejadian sambungan adat.
  4. Allah tidak ikut serta didalam tabi'atnya makhluk.
  5. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan adat yang telah diberikan kepada makhluk.
  6. Allah tidak ikut serta didalam kejadian alam, seperti terciptanya matahari, bulan, bintang, gunung dll.
  7. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan hasil tawasul.


Dalilnya sipat Qudrot.
◄Sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) keberadaannya lemah maka tidak akan diketemukan satu perkara-pun dari adanya beraneka ragam jenisnya makhluk►

Maksudnya.
Sesuatu yang menunjukan atas kekuasaan Allah adalah adanya beraneka ragam jenisnya makhluk. Oleh karenanya apabila terbukti adanya Allah tidak ada KUASA maka sama sekali tidak akan diketemukan semua jenisnya makhluk, selain dari itu tidak akan ada istilah atau sebutan MENCIPTAKAN alam serta susunannya dan juga isinya, sedangkan tiada seorang makhluk-pun yang mampuh menciptakan sesuatu, firmaNya dalam alQur'an:
◄Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu►
(Qs 2 Al-Baqarah: 109)

Kalimat yang dimaksud oleh KULLI SYAI'IN dalam ayat tersebut adalah menunjukan atas semua perkara yang MUMKINUL WUJUD atau WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD, tidak meliputi atas perkara yang WAJIBUL WUJUD atau MUSTAHILUL WUJUD.  Adapun perkara yang WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD pada hakikatnya masih dalam katagori MUMKINUL WUJUD, masih terliputi oleh KULLI SYAI'IN, serta ter-IDROK oleh sipat Qudrotnya Alloh.

Sifat Wahdaniyat

Wahdaniyat
(Yaitu sipat yang keenam yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan, wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat wahdaniyat (tunggal), didalam dzatnya dan sipatnya serta perbuatannya (penciptaanya), adapun maknanya wahdaniyat dalam dzatNya "sesungguhnya bahwa dzatnya Alloh tidak tersusun dari berbagai juz yang berbilang". Adapun maknanya wahdaniyat dalam sipatNya "sesungguhnya Alloh tidak ada terhadapNya dua sipat atau lebih banyak dari jenis yang satu seperti ada dua qudrot (dalam dzat / diri Alloh) dan begitu juga seperti dua qudrot tadi dan tidak ada tuk selain Alloh satu sipat saja yang menyerupainya terhadap sipat Alloh ta'ala". Adapun makna wahdaniyat dalam pekerjaanNya "sesungguhnya tidak ada untuk selain Alloh satu pekerjaan saja dari berbagai jenisnya pekerjaan Alloh. Dan perlawanannya sipat wahdaniyat ialah ta’addud (berbilang), sedangkan dalilnya terhadap sipat wahdaniyat "sesungguhnya Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka tidak akan pernah ada satu perkara-pun dari semua jenis yang namanya makhluk"►

Penjelasan.
Wajib disini wajib menurut hukum akal, yang artinya pasti buktinya sehingga dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa Alloh tersipati oleh sipat wahdaniyat, arti salbiyahnya pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya.

Kata wahdaniyat menurut ahli bahasa yaitu "satu Alloh", tapi yang dimaksud disini satu dalam artian tidak ada bilangannya, ia tidak terliputi oleh bilangan, satu bukan bagian dari yang banyak, seperti ada satu, ada dua, ada tiga dan seterusnya.

Serta satunya itu bukan hasil merangkaikan dari bilangan juz-juz, seperti ada kata trimurtri, ia bisa disebut satu tapi satunya itu hasil rangkaian sepertiga dari hitungan tiga bagian atau tiga juz.

Mushonnif yang mengarang kitab ini diatas tadi telah memberi contoh bahwa yg dimaksud dengan sipat Wahdaniyat tersebut, yaitu satu dalam dzatnya, satu dalam sipatnya dan satu dalam perbuatannya.

Kesimpulannya.
Dalam maknanya sipat wahdaniyat yang telah disebutkan tadi, dapat disimpulkan bahwa dinafikan (dicabut) dari Alloh atas 5 (lima) kam (bilangan):
  1. Kam munfashil fidz dzati: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam dzatnya, dari jumlahan bagian yang banyak, dalam arti satunya bukan dua, bukan tiga, bukan empat dan seterusnya. contohnya katakan saja "ada SATU ruko" didalam satu pasar, tapi SATU-nya itu bukan cuma satu-satunya dari jumlahan yang banyak. Jadi yang namanya SATU seperti ini bukan SATU yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
  2. Kam muttashil fidz dzat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap atau rangkaian dalam datnya, yang tersusun dari berbagai juz, seperti satunya lain seperdua dari dua, sepertiga dari tiga, seperempat dari empat dan seterusnya, contohnya "ada SATU bangunan" ia boleh disebut SATU, tapi satunya itu tersusun dari jenisnya bata merah, semen, pasir, air, kusen, cat tembok, ruang tamu, kamar, dapur dan lain-lain. Ini juga bukan SATU yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
  3. Kam munfashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam sipatnya, dari jumlahan yang banyak, dalam arti tidak ada sama sekali apapun dan siapapun yang mempunyai dan menyerupai sipatNya di luar Alloh, yang sama dalam bahasanya, bentuknya serta isinya. Tapi tidaklah mengapa kalau ada persamaan dalam sebutannya saja, seperti sebutan yang dilontarkan kepada makhluk bahwa ia kuasa, ia punya ilmu dan lain-lain, kenapa ? karena kuasanya Alloh berbeda dengan kuasanya yang ada di makhluk, begitupun ilmu yang ada di Alloh, berbeda dengan ilmu yang ada di makhluk.
  4. Kam muttashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap dalam sipatnya dari jumlahan bagian juz sipat yang satu, seperti ia Alloh tersipati oleh sipat qudrot, sipat qudrot di Alloh hanya satu, lain dua, lain tiga, lain empat dan seterusnya. Begitu juga irodatnya Alloh, ilmunya Alloh, hayatnya Alloh, sama', bashor, juga kalamnya Alloh, bukan dua bukan tiga tapi hanya satu.
  5. Kam munfasil fil af'al: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam penciptaanya, atau dalam pekerjaannya, atau dalam perbuatannya, dari berbagai jenis jumlahan perbuatan Alloh, dalam arti tidak ada sama sekali yang mempunyai atsar (kesan=bekas) pekerjaan diluar perbuatan Alloh.
Oleh kerana wahdaniyat di Alloh melepas dari lima KAM (hitungan), maka tidak akan pernah ada tuhan selain Alloh, kalau ada tuhan selain Alloh dapat dipastikan bahwa semua jenis yang namanya makluk tidak akan pernah ada, dan buktinya hingga sekarang yang namanya makhuk itu ada, ternyata bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya dalam dzat, sipat serta af'alnya, seperti yang telah difirmankan oleh Alloh dalam alqur'an:

◄Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka sifatkan►
(Qs 21 Al-Anbiyaa' : 22)

Adapun Af'alnya Alloh itu terbagi atas 2 (dua) bagian:
  1. Mukhtar: yaitu perbuatan Alloh yang disambungkan dengan daya pilihannya makhluk, atau daya ikhtiarnya makhluk, seperti Alloh menciptakan kaya disambungkan dengan daya semangat usahanya seseorang, Alloh menciptakan kenyang dalam diri seseorang disambungkan dengan masuknya nasi kedalam perut, Alloh menciptakan keruksakan dimuka bumi disambungkan dengan ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, dan seterusnya.
  2. Mudlthor: yaitu perbuatan Alloh secara langsung tampa disambungkan dengan daya pilihannya makhluk, seperti Alloh menciptakan langit dan bumi, Alloh menciptakan siang dan malam, Alloh menciptakan lelaki dan perempuan dan seterusnya.
Terkadang mudlthor dan mukhtar masuk saling bergantian disela-sela adat, yang sedang berjalan dalam kehidupan sehari-hari. contohnya, seperti dalam keadaan kita sedang "bernafas" adakalanya sinafas tersebut sengaja ditarik, ditahan dan dikeluarkan oleh daya upaya kita sendiri, tapi terkadang dalam keluar masuknya nafas bukan kita yang mengaturnya seperti dalam keadaan sesak nafas atau dalam keadaan tidur, hal ini bagian yg mudlthor. Contoh yang kedua, dalam keadaan kita sedang "mengedipkan" mata, adakalanya mata itu sengaja dikedipkan oleh kita, selebihnya mudlthor.

Ada pula perbuatannya Alloh, adakalanya suatu kejadian biasanya mukhtar berubah menjadi mudlthor, contoh, seperti orang yang tekun serta giat dalam mencari uang, tapi sengsara dalam hidupnya. Sebaliknya orang yang malas dalam mencari uang, tetapi ia diberi kelapangan dalam hidupnya. Contoh lagi, seperti Alloh telah menakdirkan seseorang menjadi seorang lelaki, hal ini bisa diikhtiyari berubah jadi jenisnya seorang perempuan, sebaliknya seorang perempuan bisa berubah menjadi lelaki dengan melalui jalan diikhtiyarinya dan lain sebagainya

Dalil yang menunjukan atas perbuatan Alloh yang Mukhtar, diantaranya:
1. Dalam surat yang ke 2 Al-Baqarah ayat 286
Artinya ◄Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya►

2. Dalam surat yang ke 30 Ar-Ruum ayat 41
Artinya ◄Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia►

Dalil yang menunjukan atas perbuatan Alloh yang Mudlthor, yaitu dalam surat yang ke 9 At-Taubah ayat 51
Artinya ◄Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami"►
Contoh, seperti makan tidak bisa menghasilkan kenyang, minum tidak menghasilkan segar, tapi dalam keadaan makan dan minum, kenyang dan segar disitu ada ketentuan qodlo dan qodarNya Alloh yang sedang berjalan.

Untuk penjelasan I'tiqod, ada disini►►

Sorotan hukum syara' terhadap wajib aqli-nya bahwa Alloh tersipati oleh sipat wahdaniyyat:
  • 1. Hukum syara mewajibkan kepada semua orang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib wahdaniyat-nya di Alloh, dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib wahdaniyatnya di Alloh serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib wahdaniyat-nya di Alloh serta di cap orang kafir.
  • 2. Hukum Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ta'addud-nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan terhadap wajib wahdaniyyatnya di Alloh, kalau tidak menekadkan mustahil ta'addudnya di Alloh.
  • 3. Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa"►
(Surat 114 Al-ikhlas: 1)
  • 4. Hukum syara' mewajib syar'ikan kepada semua orang mukallaf harus bertauhid dengan mewahdaniyatkan terhadap wujudnya Alloh ta'ala, bukan hanya sekedar diwajibkan percaya terhadap wahdaniyatnya Alloh, tapi wajib selama-lamanya bertauhid dengan mewahdaniyatkan terhadap wujudnya Alloh, serta:
  • Mewahdaniatkan ma'bud, yaitu mengkhususkan ibadah kepada Alloh.
  • Mewahdaniyatkan Mathlub, yaitu mengkhususkan mencari dan patuh terhadap semua perintah Alloh serta menjauhi segala larangan Alloh.
  • Mewahdaniyatkan Maqsud, yaitu mengkhususkan tujuan hanya untuk mencari ridhonya Alloh semata.
  • Kalau tidak mewahdaniyatkan Ma’bud, musyrik hukumnya.
  • Kalau tidak Mewahdaniyatkan Mathlub. fasiq hukumnya.
  • Kalau tidak Mewahdaniyatkan Maqsud, maksiat hati hukumnya.
  • 5. Hukum syara' melarang kepada setiap orang mukallaf hidup di dunia, dengan tidak yakin iman kepada Alloh, atau iman yang disertai musyrik, atau bertauhid tapi tidak ma'rifat, atau ma'rifat tapi tidak tashdiq, tashdiq (membenarkan) tidak iddi'an (meng-iyah-kan), iddi'an tidak qobul (menerima).
Dalilnya sipat Wahdaniyat.
◄Sesungguhnya Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka tidak akan pernah ada satu perkara-pun dari semua jenis yang namanya makhluk►

Sifat Qiyamuhu Binafsihi

Qiyamuhu Binafsihi
(Yaitu sipat yang kelima yang wajib dalam haqnya Alloh ta'ala)
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat alqiyamu binnafsi, adapun maknanya alqiyamu binnafsi, yaitu sesungguhnya Alloh ta'ala tidak membutuhkan terhadap tempat dan tidak membutuhkan siapapun yang menentukannya, adapun perlawanannya sipat alqiyamu binnafsi yaitu al-ihtiyaju (butuh) terhadap tempat serta butuh terhadap yang menentukan. Sedangkan dalilnya yang memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi "sesungguhnya (Alloh) seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya Alloh hal-nya jadi sipat, kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil"►

Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakanNya, serta adanya Alloh tidak membutuhkan terhadap sesuatu untuk "bertempat" (mendiami = menetap).

Yang dimaksud oleh kata (alqiyamu binnafsi) disini, bukannya Alloh berdiri yang asalnya tidak ada lalu dengan sendirinya menjelma. Tapi yang dimaksud oleh (alqiyamu binnafsi) yaitu Alloh berdiri sendiri oleh dzatNya sendiri, serta yang dimaksud dengan berdiri sendiri disini, yaitu:
  • Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakan.
  • Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menentukan.
  • Adanya tidak membutuhkan suatu tempat untuk berdiam diri atau menetap. 
Sipat (alqiyamu binnafsi) termasuk salah satu sipat salbiyah yakni adamiyah yang menjadi sipat oleh "tiada"nya, oleh karena itu hakikat wujudnya dzat Alloh tidak membutuhkan tempat untuk besemayan atau berdiam diri atau menetap, serta tidak membutuhkan siapapun yang menentukanNya.

Pejelasan : wa ma'nahu
Seumpamanya Alloh membutuhkan terhadap dzat atau seseorang yang menciptakan, atau membutuhkan suatu tempat untuk bersemayan, maka akan menimbulkan daur atau tasalsul yang keduanya mustahil terhadap Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:
Definisi Daur:
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►

Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

Definisi Tasalsul:
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)►

Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Karena makna (alqiyamu binnafsi) tidak butuh tempat untuk bersemayan, maka tercabut dari Alloh semua perkara yang meliputi pertanyaan "DIMANA", serta semua jawabannya dari jihat yang 10 (sepuluh):
  1. Depan
  2. Belakang
  3. Kiri
  4. Kanan
  5. Atas
  6. Bawah
  7. Luar
  8. Dalam
  9. Nempel
  10. Pisah
Oleh karena Alloh tersipati oleh sipat (alqiyamu binnafsi), maka batal i'tiqod yang menekadkan bahwa Alloh bersemayan di arasy, karena:

1. Seumpama Alloh bersemayan di arasy, tentunya Alloh butuh dengan arasy untuk berdiam diri, arasy-nya juga harus qodim serta serba maha karena akan ditempati serta dipakai untuk berdiam oleh dzat yang qodim yang serba maha, sedangkan mustahil ada mekhluk yang melebihi dari dzat yang serba maha.

2. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi►
(Qs 43 Az-Zukhruf: 84)

3. Bertentangan dengan ayat:
◄Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah►
(Qs 2 Al-Baqarah: 115)

4. Bertentangan dengan ayat:
◄padahal Allah mengepung dari belakang mereka yang meliputi►
(Qs 85 Al-Buruuj: 20)

5. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,►
(Qs 50 Qaaf: 16)

6. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat►
(Qs 2 Al-Baqarah: 186)

7. Bertentangan dengan ayat:
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak tidur►
(Qs 2 Al-Baqarah: 255)

8. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan, Dia bersama kamu di mana saja kamu berada►
(Qs 57 Al-Hadiid: 4)

Adapun firman Alloh yang dimaksud dalam surat (20 Thaahaa ayat 5), begini:
◄Adapun Arrahman (Tuhan Yang Maha Pemurah), menata (miyara=sunda) terhadap `Arasy►
Makna tersebut adalah makna hakiki bukan makna majazi, karena makna istawa mempunyai 2 (dua) makna hakiki:
  1. Makna qorib (dekat), makna yang sering dipakai, makna yang qorib ini dimustahilkan oleh ayat-ayat yang telah disebutkan tadi (dari 2 sampai 8).
  2. Makna ba'id (jauh), makna yang jarang dipakainya, makna yang ini sesuai dan pas tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang disebutkan tadi (dari 2 sampai 8)
Oleh karena itu, kalau seandainya menemukan satu lapad yang mempunyai dua makna (qorib&ba'id) terus dipakai dengan makna ba'id, maka kalam tersebut termasuk (kalamun badi'un tauriyyah) artinya suatu ungkapan yang indah.

Adapun jawaban Rosul ketika ditanya oleh seorang nenek-nenek, katanya:
◄Dimana Alloh itu ? Rosul menjawab - diatas►

Jadi kalimat _fissama'_ itu,
Bilamana dipakai dengan makna qorib, maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di langit"
Bilamana dipakai dengan makna ba'id, maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di atas"

Oleh sebab itu, apabila kalimat "fissama'" seandainya dimaknaan dengan makna qorib akan menimbulkan pertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya (seperti yg telah disebutkan diatas), maka kalimat "fissama'" dipakai dalam makna ba'id (dengan artian-diatas). Oleh karena makna "diatas" masih mengandung makna ikhtimal (adanya kemungkinan yang lain), maka makna "diatas" harus dita'wil/disalurkan.

Jadi artian __*Ainalloh? qola fissama'*__ begini arti keseluruhannya "Dimana Alloh itu? Rosul menjawab, ada diatas dalam martabatnya, dalam kekuasaanya" . tegasnya _fauqo kulli syai'in = diatas segala perkara_ Seperti firman Alloh dalam alqur'an:
◄Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya►
(Qs 6 Al-An’am: 18 & 61 )

Jadi yg dimaksud dengan kalimat __di-ATAS itu__ bukan menunjukan terhadap tempat, sebab Alloh tidak bertempat, tapi menunjukan diatas martabat kedudukan N kekuasaan Alloh. 

Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qiyamuhu binafsihi:
  • Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
  • Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ihtiaju-nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahilnya ihtiaju-nya di Alloh.
  • Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup serta Yang Berdiri sendiri►
(Qs 2 Al-Baqarah: 255)

Dalil aqli-nya sipat alqiyamu binnafsi:
◄Sedangkan dalilnya yang memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi "sesungguhnya (Alloh) seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya Alloh hal-nya jadi sipat, kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil"►

Dalam dalil aqli ini, ada kalimat (Alloh halnya jadi sipat), maksudnya yaitu:
  • Alloh adalah Dzat bukan sipat.
  • Dzat tidak akan berdiri didalam dzat.
  • Dzat tidak akan berdiri didalam sipat.
  • Sipat tidak akan berdiri didalam sipat.
Jadi yang benar, adalah sipat yang berdiri didalam dzat, contohnya ada sebuah tembok yang warnanya hijau, tembok itu adalah dzat yang disipati oleh sipat hijau, warna hijau jadi sipat dari sebuah tembok tersebut.

Andaikata Alloh itu bangsa sipat tentunya Alloh tidak akan tersipati oleh sipat ma'ani, serta tidak akan tersipati oleh sipat ma'nawiyah, karena sipat tidak akan berdiri didalam sipat.

Sifat Mukholafatu lilhawa

Mukholafatu lilhawaditsi
(Sipat yang keempat yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat Mukholafatu lilhawaditsi, adapun maknanya sipat mukholafatu lilhawaditsi yaitu "sesungguhnya Alloh ta’ala tidak ada keberadaanNya menyerupai atas perkara yang baru". Maka dari itu tidak ada (dinafikan) terhadap Alloh seperti tangan,  serta tidak ada mata dan tidak ada telinga dan juga tidak ada perkara yang seperti diceritakan tadi dari berbagai sipat yang baru. Adapun perlawanannya sipat mukholafatu lilhawaditsi, yaitu sipat mumatsalah (menyerupai yang baru). Sedangkan dalilnya terhadap sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti (Alloh) halnya yang menyerupai akan perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru, sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"►

Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut (salbiyyah)-nya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal (ghorizi) bahwa keberadaannya Alloh tidak ada titik persamaan antara Alloh dengan makhluknya, kalau seandainya Alloh ada titik persamaan, pasti Alloh itu baru.

Sebelum keadaan yang (hawadits) ada, Alloh sudah tersipati oleh mukholafatu lilhawaditsi, yang sudah ada dalam ilmunya Alloh, ialah setiap makhluk yang ter-(ta’aluq) oleh (shuluhi qodim) qudrotnya Alloh. Jadi sipat mukholafat lilhawaditsi di Alloh tetap qodim tidak ter-(hawadits)-kan oleh (hawadits). 

Adapun sipat (mukholafatu lilhawaditsi) di Alloh termasuk sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang tercabut atas perkara yang tidak pantas ada di Alloh, juga jadi sipat oleh tiadanya. Jadi artian dari sipat (mukholafatu lilhawaditsi) yaitu, tidak ada tandingannya terhadap Alloh, ia adalah (adamu mumatsalah : tidak ada yang menyerupai).

Sorotan hukum sara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat mukholafatu lilhawaditsi:
  • Pertama hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
  • Kedua hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil (mumatsalah)nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas mukholafatu lilhawaditsinya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas (mumatsalah)nya di Alloh.
  • Ketiga hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal dengan firmannya:
◄Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat►
(Qs 42 Asy-Syura: 11)

◄Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia►
(Qs 112 Al-Ikhlash: 4)

Penjelasan : wa ma'nahu
Disini mushonnif memberi contoh bahwa terhadap Alloh tidak ada tangan, tidak ada mata, tidak ada telinga dan tidak ada perkara yang sejenisnya.

Apabila ada (nash) dalam alqur’an atau dalam alhadits yang "cenderung" atau "hampir", bahwa Alloh menyerupai makhluk, hal tersebut ada dua sorotan:
  • Pertama. Menurut ulama kholaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di(ta’wil), dengan kata lain mesti disalurkan dengan makna yang layak terhadap Alloh.
  • Kedua. Menurut ulama salaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di-(tawidl), dengan kata lain nash ini mesti dibekukan serta diserahkan kepada Alloh maknanya, karena khawatir menyalahi makna serta tujuannya (nash) tersebut.
Contoh nash yang menyerupai terhadap Alloh.
  • yadulloh, asal arti tangan Alloh.
  • ainulloh, asal arti mata Alloh.
  • wajhulloh, asal arti wajah Alloh.
Kalau seandainya Alloh menyerupai pada perkara yang baru, pasti Alloh itu (jauhar), kalau Alloh (jauhar) pasti akan terkena oleh (arodh = baru), kalau seandainya Alloh itu baru, (talazum) dengan barunya. Kalau keberadaanya Alloh seperti itu pasti akan menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:
1. Definisi daur, yaitu:
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

2. Definisi tasalsul, yaitu:
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Dalil aqlinya sipat Mukholafatu lilhawaditsi:
◄Sedangkan dalilnya terhadap sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti (Alloh) halnya yang menyerupai akan perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru, sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"►

Sifat Baqo'

Baqo'
(Sipat yang ketiga yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat baqo’ (kekal :tidak ada ujungnya), adapun maknanya sipat sipat baqo’ "sesungguhnya bahwa Alloh ta’ala tidak ada ujungnya bagi Alloh". Sedangkan dalil yang menunjukan atas sipat baqo’nya Alloh, ialah "Sesungguhnya kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru tentunya mustahil"►

Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh tidak ada ujungnya.

Adapun yang namanya baqo’ terbagi atas tiga bagian, yaitu:
  • Baqo’ zamani yaitu, kekalnya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti kekalnya surga dan neraka.
  • Baqo’ nisbi yaitu, kekalnya satu perkara dibandingkan dengan perkara lainnya, seperti kekalnya waja dibandingkan dengan kayu, kekalnya bumi dibandingkan dengan yang mendiaminya.
  • Baqo’ haqiqi yaitu, kekalnya satu perkara bukan karena lama zamannya, juga bukan karena dibandingkan atas perkara lainnya, tapi kekalnya tidak ada ujungnya, juga tidak terkena oleh ruksak, yakni kekalnya dzat Alloh.
Dikarenakan baqo’nya Alloh baqo’ haqiqi, maka baqo’nya Alloh tidak akan terkena oleh ruksak serta tidak diujungi oleh tiada. Dan seumpamanya Alloh terkena oleh ruksak dan diujungi oleh tiada, pasti wujudnya Alloh (mumkin), kalau wujudnya Alloh (mumkin) pasti keberadaannya Alloh tidak ada dulu, kalau keberadaannya tidak ada dulu pasti menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:
1. Definisi daur, yaitu:
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

2. Definisi tasalsul, yaitu:
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:
  • Pertama, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
  • Kedua, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil fana’nya di Alloh, dan atas ruksaknya semua makhluk, karena tidak sah menekadkan atas baqo’nya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas mustahil fana’nya di Alloh, dan ruksaknya semua makhluk. Firman Alloh dalam alqur’an:
◄Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan►
(Qs 55 Arrahman: 26 - 27)

Terkecuali ada delapan perkara yang tidak akan ruksak, oleh (tahshish)-nya hadits:
  1. Qolam.
  2. Lauhul mahfudh.
  3. Arasy.
  4. Kursi.
  5. Ruhani.
  6. Neraka.
  7. Surga,
  8. Tulang ekor manusia.
Nah itu semua tidak akan terkena oleh ruksak tapi sipatnya (baqo’ zamani = kekalnya karena terliputi oleh zaman), dan keberadaannya juga (ba’dal ‘adam = adanya sesudah tidak ada dulu).
  • Ketiga, hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal, dengan firman Alloh dalam alqur’an:
◄Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah►
(Qs 28 Al-Qashash: 88)

Penjelasan : wa ma’nahu
Maksud dari (wa ma’nahu) disini ialah, mengungkapkan bahwa sipat baqo’ itu (‘adamiyyah) dalam arti, yang menjadi sipat oleh tidak adanya, contohnya seperti sipat (baqo’ = tidak ada ujungnya). Juga sipat baqo’ itu bukan (tsubutiyyah = ungkapan yang menetap ada buktinya), serta ungkapan (tsubutiyyah) ini menunjukan untuk bukannya baqo’ haqiqi, maka tidak sah diungkapkan kepada Alloh dengan ungkapan kata (kekal), karena ungkapan seperti itu adalah ungkapan (tsubutiyyah).

Dalam kalimah (albaqo’) memakai hurup (Alif & Lam) (lilhaqiqot), menunjukan bahwa baqo’ di Alloh itu ialah baqo’ haqiqi, yakni hakikatnya baqo’, Dan sipat baqo’ di Alloh termasuk jadi sipat (salbiyyah = sipat yang tercabut), ia jadi sipat oleh tidak adanya. Jadi bahwa hakikatnya sipat baqo’ di Alloh adalah (tidak ada ujungnya).

Dalam bahasan sipat baqo’ mushonnif tidak menyebutkan dengan kalimat (wadlidduhul fana’u = dan perlawanannya sipat baqo’, yaitu ruksak), karena sudah menjadi kepastian apabila Alloh baru, sudah pasti terkena oleh ruksaknya, dan bakal diujungi oleh tidak adanya, serta pasti keberadaannya Alloh jadi hal yang (mumkin), kalau wujudnya (mumkin), pasti keberadaanya jadi baru, alias tidak ada dulu. Seumpama barunya sudah ter(mustahil)kan, maka sudah jadi kepastian (fana’)-nya juga sudah ter(mustahil)kan, karena (fana’) sudah ter-indiroj (terjepit) dalam muqoddam dalil = pembukaan dalil) yaitu (lau kana faniyan).

Dalilnya sipat Baqo':
◄Sesungguhnya kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru tentunya mustahil►

Yang dimaksud dalil diatas tadi, yaitu dalil aqli yang bangsa (ijmali), bukan dalil (aqli tafshili), juga bukan dalil naqli dari alqur’an atau alhadits.