Sifat Baqo'

Baqo'
(Sipat yang ketiga yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat baqo’ (kekal :tidak ada ujungnya), adapun maknanya sipat sipat baqo’ "sesungguhnya bahwa Alloh ta’ala tidak ada ujungnya bagi Alloh". Sedangkan dalil yang menunjukan atas sipat baqo’nya Alloh, ialah "Sesungguhnya kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru tentunya mustahil"►

Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh tidak ada ujungnya.

Adapun yang namanya baqo’ terbagi atas tiga bagian, yaitu:
  • Baqo’ zamani yaitu, kekalnya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti kekalnya surga dan neraka.
  • Baqo’ nisbi yaitu, kekalnya satu perkara dibandingkan dengan perkara lainnya, seperti kekalnya waja dibandingkan dengan kayu, kekalnya bumi dibandingkan dengan yang mendiaminya.
  • Baqo’ haqiqi yaitu, kekalnya satu perkara bukan karena lama zamannya, juga bukan karena dibandingkan atas perkara lainnya, tapi kekalnya tidak ada ujungnya, juga tidak terkena oleh ruksak, yakni kekalnya dzat Alloh.
Dikarenakan baqo’nya Alloh baqo’ haqiqi, maka baqo’nya Alloh tidak akan terkena oleh ruksak serta tidak diujungi oleh tiada. Dan seumpamanya Alloh terkena oleh ruksak dan diujungi oleh tiada, pasti wujudnya Alloh (mumkin), kalau wujudnya Alloh (mumkin) pasti keberadaannya Alloh tidak ada dulu, kalau keberadaannya tidak ada dulu pasti menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:
1. Definisi daur, yaitu:
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

2. Definisi tasalsul, yaitu:
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:
  • Pertama, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
  • Kedua, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil fana’nya di Alloh, dan atas ruksaknya semua makhluk, karena tidak sah menekadkan atas baqo’nya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas mustahil fana’nya di Alloh, dan ruksaknya semua makhluk. Firman Alloh dalam alqur’an:
◄Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan►
(Qs 55 Arrahman: 26 - 27)

Terkecuali ada delapan perkara yang tidak akan ruksak, oleh (tahshish)-nya hadits:
  1. Qolam.
  2. Lauhul mahfudh.
  3. Arasy.
  4. Kursi.
  5. Ruhani.
  6. Neraka.
  7. Surga,
  8. Tulang ekor manusia.
Nah itu semua tidak akan terkena oleh ruksak tapi sipatnya (baqo’ zamani = kekalnya karena terliputi oleh zaman), dan keberadaannya juga (ba’dal ‘adam = adanya sesudah tidak ada dulu).
  • Ketiga, hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal, dengan firman Alloh dalam alqur’an:
◄Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah►
(Qs 28 Al-Qashash: 88)

Penjelasan : wa ma’nahu
Maksud dari (wa ma’nahu) disini ialah, mengungkapkan bahwa sipat baqo’ itu (‘adamiyyah) dalam arti, yang menjadi sipat oleh tidak adanya, contohnya seperti sipat (baqo’ = tidak ada ujungnya). Juga sipat baqo’ itu bukan (tsubutiyyah = ungkapan yang menetap ada buktinya), serta ungkapan (tsubutiyyah) ini menunjukan untuk bukannya baqo’ haqiqi, maka tidak sah diungkapkan kepada Alloh dengan ungkapan kata (kekal), karena ungkapan seperti itu adalah ungkapan (tsubutiyyah).

Dalam kalimah (albaqo’) memakai hurup (Alif & Lam) (lilhaqiqot), menunjukan bahwa baqo’ di Alloh itu ialah baqo’ haqiqi, yakni hakikatnya baqo’, Dan sipat baqo’ di Alloh termasuk jadi sipat (salbiyyah = sipat yang tercabut), ia jadi sipat oleh tidak adanya. Jadi bahwa hakikatnya sipat baqo’ di Alloh adalah (tidak ada ujungnya).

Dalam bahasan sipat baqo’ mushonnif tidak menyebutkan dengan kalimat (wadlidduhul fana’u = dan perlawanannya sipat baqo’, yaitu ruksak), karena sudah menjadi kepastian apabila Alloh baru, sudah pasti terkena oleh ruksaknya, dan bakal diujungi oleh tidak adanya, serta pasti keberadaannya Alloh jadi hal yang (mumkin), kalau wujudnya (mumkin), pasti keberadaanya jadi baru, alias tidak ada dulu. Seumpama barunya sudah ter(mustahil)kan, maka sudah jadi kepastian (fana’)-nya juga sudah ter(mustahil)kan, karena (fana’) sudah ter-indiroj (terjepit) dalam muqoddam dalil = pembukaan dalil) yaitu (lau kana faniyan).

Dalilnya sipat Baqo':
◄Sesungguhnya kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru tentunya mustahil►

Yang dimaksud dalil diatas tadi, yaitu dalil aqli yang bangsa (ijmali), bukan dalil (aqli tafshili), juga bukan dalil naqli dari alqur’an atau alhadits.