Sifat Mukholafatu lilhawa

Mukholafatu lilhawaditsi
(Sipat yang keempat yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat Mukholafatu lilhawaditsi, adapun maknanya sipat mukholafatu lilhawaditsi yaitu "sesungguhnya Alloh ta’ala tidak ada keberadaanNya menyerupai atas perkara yang baru". Maka dari itu tidak ada (dinafikan) terhadap Alloh seperti tangan,  serta tidak ada mata dan tidak ada telinga dan juga tidak ada perkara yang seperti diceritakan tadi dari berbagai sipat yang baru. Adapun perlawanannya sipat mukholafatu lilhawaditsi, yaitu sipat mumatsalah (menyerupai yang baru). Sedangkan dalilnya terhadap sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti (Alloh) halnya yang menyerupai akan perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru, sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"►

Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut (salbiyyah)-nya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal (ghorizi) bahwa keberadaannya Alloh tidak ada titik persamaan antara Alloh dengan makhluknya, kalau seandainya Alloh ada titik persamaan, pasti Alloh itu baru.

Sebelum keadaan yang (hawadits) ada, Alloh sudah tersipati oleh mukholafatu lilhawaditsi, yang sudah ada dalam ilmunya Alloh, ialah setiap makhluk yang ter-(ta’aluq) oleh (shuluhi qodim) qudrotnya Alloh. Jadi sipat mukholafat lilhawaditsi di Alloh tetap qodim tidak ter-(hawadits)-kan oleh (hawadits). 

Adapun sipat (mukholafatu lilhawaditsi) di Alloh termasuk sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang tercabut atas perkara yang tidak pantas ada di Alloh, juga jadi sipat oleh tiadanya. Jadi artian dari sipat (mukholafatu lilhawaditsi) yaitu, tidak ada tandingannya terhadap Alloh, ia adalah (adamu mumatsalah : tidak ada yang menyerupai).

Sorotan hukum sara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat mukholafatu lilhawaditsi:
  • Pertama hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
  • Kedua hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil (mumatsalah)nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas mukholafatu lilhawaditsinya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas (mumatsalah)nya di Alloh.
  • Ketiga hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal dengan firmannya:
◄Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat►
(Qs 42 Asy-Syura: 11)

◄Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia►
(Qs 112 Al-Ikhlash: 4)

Penjelasan : wa ma'nahu
Disini mushonnif memberi contoh bahwa terhadap Alloh tidak ada tangan, tidak ada mata, tidak ada telinga dan tidak ada perkara yang sejenisnya.

Apabila ada (nash) dalam alqur’an atau dalam alhadits yang "cenderung" atau "hampir", bahwa Alloh menyerupai makhluk, hal tersebut ada dua sorotan:
  • Pertama. Menurut ulama kholaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di(ta’wil), dengan kata lain mesti disalurkan dengan makna yang layak terhadap Alloh.
  • Kedua. Menurut ulama salaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di-(tawidl), dengan kata lain nash ini mesti dibekukan serta diserahkan kepada Alloh maknanya, karena khawatir menyalahi makna serta tujuannya (nash) tersebut.
Contoh nash yang menyerupai terhadap Alloh.
  • yadulloh, asal arti tangan Alloh.
  • ainulloh, asal arti mata Alloh.
  • wajhulloh, asal arti wajah Alloh.
Kalau seandainya Alloh menyerupai pada perkara yang baru, pasti Alloh itu (jauhar), kalau Alloh (jauhar) pasti akan terkena oleh (arodh = baru), kalau seandainya Alloh itu baru, (talazum) dengan barunya. Kalau keberadaanya Alloh seperti itu pasti akan menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:
1. Definisi daur, yaitu:
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

2. Definisi tasalsul, yaitu:
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Dalil aqlinya sipat Mukholafatu lilhawaditsi:
◄Sedangkan dalilnya terhadap sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti (Alloh) halnya yang menyerupai akan perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru, sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"►